all about APRILIA

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
unpredictable. crazy imagination. love her friendship(much!). socialist. JAZZy. love the sky. ordinary girl.

Sabtu, 09 Mei 2009

reflection (anonim)

Aku adalah seorang yang hidup untuk hari ini. Tidak banyak orang yang tahu dan rela sependapat dengan prinsipku. Di kala semua orang berlomba menyusun rencana masa depan mereka, aku masih santai disini dan berjuang menjadi yang terbaik hari ini. Aku yang minoritas. Aku yang kurang dapat mereka pahami.

Hidupku tak pernah lebih dari dua puluh empat jam. Tiap detik aku gelisah, tiap menit aku berpikir. Apa yang dapat aku perbuat dalam hari. Aku dituntut untuk berpikir layaknya esok adalah hari kematianku. Suatu hari yang sangat aku takutkan. Hari yang merongrong setiap detikku. Bayangan masa depanku hanya berupa kekekalan. Tanpa siapa pun.

Tak pernah terpikirkan bahwa semua orang dapat hidup dengan angan-angan. Ya ! angan-angan. Atau lebih santer terdengar dengan sebutan mimpi. Aku tidak merasa membutuhkan sebuah mimpi. Mimpi adalah sebuah buaian malam yang terakhir kudengarkan dari mulut ibu ketika menina-bobokan diriku.

Namun aku terhentak pada sebuah kenyataan atas kegagalanku. Lebih tepatnya kegagalan akan yang terbaik. Aku telah berbuat kesalahan, yang menjadikan hari ini terasa begitu bodoh. Pasti ! aku benci hari ini. Tapi apa yang bisa kuperbuat atas hari konyol ini. Hanya itu pertanyaan rumit yang terus berputar dalam otakku.

Aku tak pernah punya impian akan hari esok. Aku tidak pernah tahu, apa gunanya kegagalan hari ini. Aku berpikir atas kerumitanku sendiri. Di saat seperti ini lah aku sulit berdiri. Tidak bisa mengendalikan rasa jatuh dalam hati, jantung, dan otakku.

Mungkin kata mereka aku si perfectionist. Tidak suka yang salah, apalagi yang gagal. Hai ! aku bukan alien. Memang aku suka yang sempurna. Tanpa cacat lebih detailnya. Aku bukan orang yang bisa berjalan tanpa berpikir kemana, mengapa, dan beberapa jenis pertanyaan serupa.

Siklus.
Datang dari kegelapan. Dan kembali pada kegelapan. Cahaya adalah sebuah kilatan buatan – Nya. Kemilaunya berikan sebuah impian, hasil campuran sebuah ambisi dan rasa egois. Kasarnya, sebut saja dia adalah ilusi. Orang yang dapat mengatur cahaya itu agar tidak menyilaukan orang lain, atau terlalu kelam untuk orang lain adalah sempurna. Tidak ada yang sempurna di sini.

Entah apa yang mereka dapat dari sebuah ilusi. Sehingga tidak sedikit yang hidup dalam kefanaan. Padahal akhir jalan ini tetap saja gelap. Semua! Tidak terkecuali kamu atau aku.

Aku takut dengan kegelapan. Jika sebuah pertanyaan itu hadir, aku lebih memilih berlari. Aku takut akan sebuah dunia abadi. Yang tak berlimit dan berbayangan. Karena cahaya tidak dapat menembusnya. Tidak ada yang tahu apa kelanjutan sebuah kefanaan. Aku hanya hidup dengan sebuah keyakinan pada cahaya. Dan sebuah pembalasan pada kegelapan.

Sebuah perputaran adalah sebuah janji. Ikatan dan iming-iming akan sebuah pembalasan. Argh! Entah apa yang membuatku bertekuk lutut atas dunia abadi itu. Pengembangan sebuah titik pikir menjadi sebongkah bata kekuatan dan kemudian disusun menjadi rumah samar-samar dengan sejuta kenikmatan dan penyiksaan.
Dua hal yang sangat mungkin kita dapat dalam rentang waktu yang sama. Sebab sebuah kekuatan besar telah berbicara. Mencari yang selalu dekat dan menghukum yang mencoba menduakan. Ini hanya berbicara tentang komitmen.

Tik. Tok.
Bangun dari kesendirian dalam sebuah ruang sepi yang jauh dari hilir mudik tanpa sebuah rasa. Aku, sang tokoh utama. Hanya meringkuk di sudut ruangan bernama hidup yang penuh dengan dimensi tekanan.

Di sebuah detak jarum waktu, aku menangis. Atau terkadang meringis, bahkan tertawa. Aku pecahkan hening ruangan hanya untuk menertawakan diriku sendiri. Atas sebuah hidup angkuh yang tengah kujalani. Tanpa sebuah sentuhan. Tanpa kasih sayang. Aku tidak dapat berlari, jangankan untuk menolong orang lain. Untuk membangunkan diriku saja, aku tak berdaya.

Aku tertarik dengan gelimangan semu. Yang sebenarnya bukan tujuan akhirku.

Si cacat yang sempurna.
Entah berapa lama aku hidup dengan caraku ini. Sampai di sebuah titik, aku merasa butuh memiliki orang yang sempurna. Iya ! seseorang dengan latar belakang pemikiran yang tidak jauh berbeda denganku. Inilah awal pelajaran hidup yang kuterima.

Dalam pencarian yang tiada henti aku melakukan sebuah seleksi dan penilaian. Tampak seperti sebuah ajang kompetisi. Ada yang datang, dan rata-rata mereka akan pergi pula. Tidak banyak yang bisa aku kagumi dari mereka. Sampai saat aku telah menyerah, rupanya aku masih menyisakan seseorang lagi disana. Tidak banyak yang kuharapkan darinya.

Namun sudahlah, biar kucoba sekali lagi. Hanya itu yang ada di pikiranku saat ini. Yah, seperti yang lainnya, aku mulai menjajaki pribadinya. Dia, tidak banyak yang istimewa. Hanya seorang pria seumuranku yang kurang kharismatik, tidak terlalu pandai dalam mendekati wanita, dan.. TIDAK ! dia memiliki harapan yang sama denganku. Hari yang sempurna. Dia hidup untuk hari ini, dan dia tidak suka mimpi. Oh thanks God! dia datang juga.

---part one---

Jumat, 08 Mei 2009

Wanita, Raga, dan Kertas

Wanita. Coba kau hentikan langkahmu dan perhatian cermin itu.

Atau tanpa cermin, lihatlah dirimu melalui mataku.

Kau hidup tanpa kekuatan layaknya mereka yang menyebut dirinya pria.

Hanya rasa, firasat, dan tembok kertas yang ada.

Tidak berkata namun berairmata, tidak terenggut namun berbatas kertas tanpa warna.

Penuh ceria tanpa dunia.

Jasa sepanjang masa tertoreh dalam sebuah sangkar emas.

Niscaya semua adalah perngorbanan.

Berbagi dalam sebuah raga, dan hadirlah sebuah jiwa.

Dengan benih harapan, cinta, serta lantunan nada kepada-Nya.

Tegar. Dihempas bayu.

Karangkan etika dalam sebuah era.

Peluh pun tak bersambut kata. Hanya bulir keringat dan simpul sebuah rasa bahagia.

Serpihan raga adalah raga yang baru.

Dengan batas kertas lain, fragmen dari kertas sebelumnya.

Saat kertas tak menahan lagi. Dia, raga itu, raga baru, lagi.

Beda kertas, atau hanya tumpukan baja.

Tak tembus cahaya.

Hidup sebuah ragu, tanpa asa, curiga.

Raga yang lari, hanya lari.

Jauh untuk kembali. Berpijak pada titiknya, dulu.

Tak ada sesal. Tak bisa. Tak boleh.

Januari 2009.